Senin, 17 Februari 2014

Pelajaran Hidup

Kematian, mungkin mengerikan jika mendengar tentang kematian, namun kematian adalah suatu hal yang pasti dan tak ada seorang pun yang dapat menghindari kematiann. Hal ini pula yang membawa ku ke kehidupan ku sekarang ini, kehidupan yang mungkin sangat tidak manusiawi, kehidupan yang tak seorang pun ingin menjalani. Namun inilah kehidupan yang saat ini sedang ku jalani dan mungkin harus ku terima dengan sepenuh hati.
Semua berawal ketika aku masih berumur 10 tahun, saat itu pagi cerah di hari minggu, aku mendapat kabar yang membuat hidupku berubah, yang membuat tujuan hidup ku berubah dan yang dapat mematahkan semangat hidupku. Saat pertama kali mendengar kabar ini aku sungguh berfikir untuk apa aku masih melanjutkan hidup? Aku hanyalah anak ingusan yang belum siap hidup sebatang kara, yang belum mampu untuk menghidupi diri ku sendiri. Ya benar kabar itu tentang kematian ayah ku, ayah yang sudah mendidk ku, ayah yang tentunya sangat ku banggakan. Ia adalah seorang ayah super, karna iya mampu membesarkan ku seorang diri. Ayah ku sudah menjadi orangtua tunggal saat pertama kali aku terlahir kedunia ini, ibu ku tak mampu lagi bertahan setelah proses persalinan ku. Namun hal itu tak membuat ayahku patah semangat, ia tetap melakukan tugasnya sebagai ayah dan tentunya sebagai seorang ibu pula, ia tak pernah terfikir untuk mencari sosok pengganti, karna menurutnya tak ada seorangpun wanita yang layak untuk menggantikan sosok ibu, ya sosok wanita yang sangat ia cintai, bahkan disaat ia telah meninggalkan kami untuk selamanya.
Ayahku yang pada hari kamis berpmitan untuk melakukan tugas luar kota, harus meregang nyawa di sebuah kecelakaan kereta, dan pihak polisi pun sudah memastikan bahwa ayah ku tak lagi tertolong. Aku sungguh tak kuasa menahan tangisku, aku tak tahu harus berbuat apa, yang terlintas di fikiranku hanyalah meng akhiri hidupku yang sungguh tak ada gunanya lagi. Disisi lain aku tau bunuh diri adalah sebuah dosa yang besar, yang mungkin akan melepaskan masalah ku di dunia namun menambah masalah ku di akhirat. Berminggu-minggu berlalu aku masih belum dapat melupakan kedua orangtuaku, aku hanya bergantung dari belas kasihan tetangga sekitar rumah yang memberiku makan alakadarnya dan dari uang sumbangan yang di berikan oleh sekolah tempat ku menuntut ilmu. Sejak saat itu aku sudah tidak bersekolah, selain merasa minder, aku pun merasa takkan mampu meneruskan biaya sekolah yang terbilang besar untuk anak berumur 10 tahun yang hidup sendiri.
 1tahun sudah berlalu kini aku tak memiliki apa apa lagi, harta yang ku miliki hanyalah beberapa pasang pakaian usang yang aku bawa, aku tak memiliki rumah, karna sebelumnya ayah ku hanya mengontrak rumah sederhana di pemukiman padat penduduk. Kini kehidupanku berubah drastis, kini aku menjadi loper koran yang biasa menajajakan koran di persimpangan jalan. Menjadi seorang loper koran bukan lah hal yang mudah, banyak hal-hal buruk yang ku alami, seperti terserempet mobil, pembeli yang tidak membayar, di mintai uang oleh preman dll. Namun aku mecoba untuk tetap tegar menghadapi kerasnya kehidupan jalanan.

6tahun telah berlalu, kini aku menginjak usia 17 tahun, aku merasa sangat rindu kepada kedua orangtua ku terutama ayahku, aku berziarah kemakamnya setiap bulan, terutama di hari ulangtahunnya, untuk sekedar bercerita akan kerasnya hidup yang kujalani, dan mengirimkan doa agar ia di tempatkan di surga. Selalu ku bersihkan makamnya yang sederhan, yang hanya ditandai oleh batu yang di tancapkan ke tanah. Namun pada hari itu suasana berbeda, aku merasakan ayah berada di dekatku, aku dapat mendengar suaranya memanggil namaku, seolah aku sedang bersama ayahku, sungguh tak ingin kulepaskan momen ini, walau kutau ini hanyalah imaji ku, namun hal ini sungguh mengobati rasa rindu ku terhadap seorang figur ayah yang sangat ku banggakan. Namun disisi lain aku tak mau berlalrut larut dalam khayal, setelah aku mengirimkan doa kepada ayahku, aku segera meninggalkan makam ayahku dan lembali melakukan rutinitasku.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar